sejarah ilmu kalam latar belakang

 1. Latar belakang

 zetsu13.com- Rasulullah Saw, selama di Mekah mempunyai fungsi sebagai kepala agama. Setelah
hijrah ke Madinah fungsinya bertambah juga menjadi kepala pemerintah. Beliaulah
yang mendirikan politik yang dipatuhi oleh kota ini, sebelum itu di Madinah tidak ada
kekuasaan politik. Setelah wafat, Rasulullah digantikan dengan Abu Bakar, lalu Umar
bin Khattab selanjutnya digantikan Utsman bin Affan ra lalu Ali bin Abi Thalib ra.
Utsman bin Affan ra merupakan khalifah berlatarbelakang pedagang kaya. Tetapi,
ahli sejarah mengatakan bahwa Utsman termasuk khalifah yang lemah, karena tidak
dapat menentang keluarganya yang berpengaruh berkuasa di pemerintahan. Sehingga
mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah kekuasaan Islam dengan mengganti gu�bernur-gubernur yang dulu diangkat oleh Umar bin Khattab ra, yang dikenal kuat dan
tak memikirkan keluarga. Tindakan politik Utsman bin Affan ra, memecat gubernur�gubernur angkatan Umar bin Khattab ra, memancing reaksi yang tidak menguntungkan

baginya. 500 orang memberontak di Mesir sebagai reaksi atas diberhentikannya guber�nur Umar bin ‘Ash yang diangkat Umar dan digantikan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sar
dari keluarga Utsman bin Affan ra yang berujung terbunuhnya Utsman bin Affan ra.
Setelah Utsman bin Affan ra wafat, kekhalifahan diganti Ali bin Abi Thalib ra. Tetapi
segera dia mendapat tantangan dari Thalhah dan Zubair dari Mekah yang mendapat du�kungan dari Aisyah ra. Gerakan ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam pertempuran di Irak
tahun 656 M. Thalhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah ra masih hidup lalu dikirim
kembali ke Mekah. Tak cuma di sini, tantangan berikutnya muncul dari Mu’awiyah, gu�bernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman bin Affan ra. Sebagaimana Thalhah dan
Zubair, dia tidak mengakui Ali bin Abi Thalib ra sebagai khalifah. Ia menuntut kepada
Ali bin Abi Thalib ra supaya menghukum para pembunuh Utsman bin Affan ra, bahkan
ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan Ustman. Salah seorang pembe�rontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman bin Affan ra
adalah Muhammad Ibnu Abi Bakar yang tidak lain adalah anak angkat dari Ali bin Abi
Thalib ra. Ali bin Abi Thalib ra dalam kenyataannya tidak mengambil tindakan keras
terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Ali bin Abi Thalib ra mengangkat Mu�hammad Ibnu Abi Bakar menjadi gubernur Mesir.

Terjadi pertempuran antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyah bin Abu
Sofyan di Shifϐin, Mu’awiyah terdesak, Amr bin ‘Ash tangan kanan Mu’awiyah mengang�kat Al-Qur’an ke atas sebagai tanda ajakan damai. Para Qurro dari kalangan Ali bin Abi
Thalib ra menganjurkan untuk menerima, sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib ra men�ganjurkan menolaknya. Tetapi Ali bin Abi Thalib ra memilih menerima. Dengan demiki�an, dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai mediator diangkat dua
orang : Amr bin ‘Ash dari Mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali bin Abi
Thalib ra. Sebagai yang lebih tua Abu Musa maju terlebih dahulu dan mengumumkan
kepada orang ramai, putusan menjatuhkan kedua pemuka tersebut. Berlainan dengan
Amr bin ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali bin Abi Thalib ra, tetapi
tidak penjatuhan mu’awiyah. Bagaimanapun peristiwa ini merugikan Ali bin Abi Thalib
ra dan menguntungkan Mu’awiyah sebagai khalifah yang ilegal.
Terhadap sikap Ali bin Abi Thalib ra yang mau mengadakan arbitrase menyebabkan
pengikut Ali bin Abi Thalib ra terbelah menjadi dua yakni golongan yang menerima ar�bitrase dan golongan yang sejak semula menolak arbitrase. Mereka yang menolak ber�pendapat bahwa hal itu tidak dapat diputuskan lewat arbitrase manusia. Putusan han�ya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an, la
ḥukmā illa lillāh (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) la ḥakama illā Allah (tidak
ada perantara selain Allah). Mereka menyalahkan Ali dan karenanya keluar serta me�misahkan diri dari barisan Ali bin Abi Thalib ra (disebut kaum Khawarij).

Kaum khawarij memandang para pihak yang menerima arbitrase yaitu Ali bin Abi
Thalib ra, Mu’wiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai kaϐir dan murtad
karena tidak berhukum kepada hukum Allah berdasarkan ϐirman Allah dalam surat
Al-Maidah 44, karenanya halal dibunuh. Hal ini tidak hanya mempunyai implikasi
politik yang tajam, tetapi juga meningkat kepada persoalan-persoalan teologi, yang
melahirkan beberapa aliran teologi (ϐirqah).

Leave a Comment